Perantauanku
saat ini setelah kota Bogor adalah Riau. Disinilah aku berdiri sekarang untuk 5
bulan ke depan. Kebun Rama-rama insyaAllah akan menjadi sebuah tempat yang
takkan kulupa karena akan banyak memberikanku pelajaran baik di dunia sawit,
sosial, ataupun yang lainnya.
Kusingkirkan
tingkah keanak-anakanku ditempat ini. Aku bukanlah dipanggil lagi adek, mas,
bang atau apapun, saat ini semua orang memanggil diriku dengan sebutan Pak.
“Aku masih muda
bu, pak, masak sudah dipanggil Bapak hehehe”, gumamku dalam hati.
Tapi beginilah
kenyataannya hehehe aku sudah menjadi bapak-bapak disini hehehe.
Tapi
bukan itu yang ingin kuceritakan kali ini. Disini aku belajar bagaimana menjadi
orang tua yang berjuang demi anaknya dan belajar bagaimana menjadi seorang anak
agar tidak mengecawakan orang tua yang telah berjuang demiku.
Sesuap
nasi yang dimakan orang-orang disini semua bergantung dari perusahaan yang
memperkerjakan mereka. Bangun pagi-pagi, ikut lingkaran pagi, berangkat ke
kebun, kerja mati-matian demi memperjuangkan si “Rupiah”. Begitulah rutinitas
setiap harinya yang mereka lakukan.
Di kebun
ini aku berjumpa dengan ayah sahabatku di kampus yang kebetulan satu jurusan
denganku. Beliau bekerja sebagai karyawan disini tepatnya seorang pengutip
brondolan kelapa sawit. Kulihat dia berjalan tanpa alas kaki mengelilingi kebun
yang beratus-ratus hektar sambil mengutip brondolan sawit yang jatuh dan
tercecer, berpakaian baju kampanye yang diberikan oleh salah satu partai politik
serta celana yang juga seadanya. Kujabat tangannya sambil tersenyum seraya
berkenalan dengannya dan menyampaikan kalau aku adalah teman anaknya di kampus.
Beliaupun membalas senyumku dengan senyum terbaiknya walau harus menampakkan
gigi-giginya yang perlahan mulai hilang.
“Bapak
itu dulunya adalah seorang pemanen namun sekarang karena sudah tua, beliau
tidak mampu lagi memanen ditambah dengan semakin tingginya tanaman, oleh karena
itu saat ini beliau hanya mampu mengutip brondolan”, celetus dari salah satu
mandor yang menemaniku saat itu.
“Sekarang
anak bapak itu seangkatan dengan bapak kan di IPB?”, tanyanya.
“Iya pak
kebetulan kami seangkatan dan saya lumayan kenal dengannya”, jawabku.
Mandor
itu bercerita panjang mengenai cerita hidup seorang bapak tua yang mati-matian
menyekolahkan anaknya hingga berkuliah saat ini walau hanya sebagai seorang
pemanen dan pembrondol.
“Ketika
anaknya telah lulus di program wisuda yang diberikan Sinarmas ini, bapak itu
merasa bahagia bercampur sedih. Senang karena dia berharap anaknya bisa sukses
dan bisa menyekolahkan adik-adiknya, ada pula perasaan sedih karena di lain
sisi dia tidak memiliki uang untuk memberangkatkan anaknya ke Bogor. Sebelum
berangkat bapak itu sempat keliling kampung ini untuk minjam uang ke
tetangga-tetangga untuk bisa memberangkat anaknya tapi tidak satu pun orang mau
memberikan pinjaman dengan alasan masih sama-sama butuh uang tersebut. Pintu ke
pintu tapi tak juga ada yang mau membantu. Saya sebenarnya begitu sedih tapi
saya juga tak punya uang untuk membantunya. Akhirnya Bapak tersebut meminta
tolong kepada saya untuk membantunya meminjamkan uang di bank karena sulitnya
mencari pinjaman di kampung ini, tapi ketika saya tanyakan apakah bapak
tersebut punya akte, surat nikah atau yang lainnya, beliau juga tidak punya.
Saya sempat bingung bagaimana menolongnya. Benar-benar tidak tega melihat bapak
tersebut. Akhirnya saya berusaha mencari bantuan untuk menggadaikan surat tanah
orang untuk bisa minjam uang di bank, dan untungnya ada yang prihatin dan
ikhlas membantu dan dengan syarat, biaya per bulan yang dikenakan oleh bank
menjadi tanggungan bapak tersebut, dan bapak itu mengiyakannya” cerita bapak
mandor tersebut.
Apapun
kulakukan demi suksesnya anakku walau keringat bercucuran darah nantinya,
mungkin begitulah yang ada pada benak bapak tersebut. Dan mudah-mudahan anaknya
bisa membalas kerja keras orang tua saat ini di masa depan.
Beberapa
hari setelahnya aku mengetahui bahwa setiap bulannya beliau hanya mendapatkan
tidak lebih dari 2 juta, menghidupi keluarga dengan uang secukupnya mungkin
juga kurang sebenarnya, fasilitas dari perusahaan pun kurasa kurang baginya.
Aku teringat ketika anaknya sering telat membayar uang kosan, jarang ikut
patungan jika ada sesuatu, ataupun ikut jalan-jalan. Perasaanku benar-benar
terharu saat itu. Hatiku bertanya kenapa aku tidak peka terhadap kehidupan
teman-temanku sendiri. Namun, yang bisa kulakukan adalah berdoa semoga usaha
yang dilakukan bapaknya takkan bisa dan semoga anakknya bisa membalas kerja
keras yang dilakukan orang tuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar