Kamis, 13 Februari 2014

Perantauan


Sejak di SMA aku sudah punya mimpi untuk hidup merantau dan jauh dari kota kelahiranku, Medan. Ingin sekali memijakkan kaki ini di pulau Jawa untuk mencari jati diriku yang sebenarnya, merasakan manis pahitnya kehidupan, dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Kemandirian, kekuatan, dan pengalaman luar biasa kuyakini akan kudapatkan jika aku bisa merantau nantinya, itulah pemikiran ketika masih duduk di bangku SMA.

Alhamdulillah setelah tamat dari SMA aku diberi kesempatan untuk bisa bersekolah di salah satu kota di pulau Jawa, Bogor. Disinilah akan kumulai perjalanan baruku, merintih karir, mencapai kesuksesan agar mereka yang telah mati-matian menghidupkanku hingga sekarang bisa bangga dengan seseorang yang bisa bermanfaat untuk orang banyak. Itulah alasanku untuk bisa berdiri di kota ini.


Aku termotivasi dari cerita-cerita orang yang terlebuh dahulu telah meraih kesuksesan dan itu dimulai dari masa perkuliahan mereka bahkan mereka dari keluarga yang kurang mampu. Bersekolah tanpa meminta bantuan orang tua, menghidupi diri sendiri dengan uang yang diraih dengan jerih payah dan dari tangan mereka sendiri. Tidak melupakan kewajiban utama mereka untuk berkuliah, mendapatkan cumlaude, menjadi mahasiswa berprestasi, mereka berhasil menghidupi diri sendiri dari beasiswa yang diperoleh, mengambil pekerjaan sampingan untuk sesuap nasi di keseharian mereka, dan bahkan menjadi seorang aktifis yang berpengaruh di kampus dan bermanfaat untuk orang banyak. Subhanallah, kenapa kita tidak bisa? Atau kita tidak mau mencobanya?

Sudah berjuta-juta, puluhan bahkan ratusan ataupun miliyar telah dihabiskan hingga aku bisa seperti ini. Tinggiku sudah melampaui kedua orang tuaku, fikiranku sudah mulai dewasa, dan itu sudah cukup bagiku untuk tidak merepotkan mereka lagi karenaku. Seharusnya akulah yang menghidupi mereka sekarang. Walau memang kenyataannya aku belum berpenghasilan cukup untuk bisa membiayai mereka setidaknya aku ingin bisa melepaskan diri dari tanggungan mereka terlebih dahulu. Maafkan aku telah merepotkan kalian selama ini. Aku sempat berfikir jika aku kuliah nanti mungkin aku bisa mengamen di malam hari dengan modal gitar dan harmonicaku untuk bisa mengenyangkan perutku nantinya daripada mesti minta ke orang tua lagi.

Aku masih ingat ketika aku harus memilih antara pilihan-pilihan yang kuhadapi ketika tamat dari SMA, beasiswa kuliah di IPB dengan tamatan D3 atau kuliah di Unibraw tanpa beasiswa dengan tamatan S1. Sangat banyak resiko dan peluang yang akan kubuang jika aku harus memilih. Namun, bagaimana pun setiap pilihan apapun itu pasti ada positive dan negativenya. Meski yang kupilih adalah IPB walaupun jujur aku masih takut kala itu karena membayangkan kehidupan kebun kelapa sawit yang belum pernah kubayangkan sebelumnya, tapi selalu saja bisikan hati ini menyemangatiku akan pilihan yang kuambil, aku tidak ingin merepotkan mereka dengan permasalahan biaya untukku belajar lagi. Sudah cukup aku merepotkan mereka dengan membiayai sekolahku dari TK selama 2 tahun, SD selama 6 tahun, SMP selama 3 tahun, dan SMA selama 3 tahun.

Kehidupan di perantauan pastilah beda dengan kehidupan sebelumnya. Yang dulunya kita selalu dekat dengan orang tua, mungkin hanya dua kali setahun, sekali setahun, ataupun sekali dalam dua tahun jika dalam dunia perantauan. Aku masih teringat ketika terbangun di pagi hari terkadang dibangunkan agar segera bergegas untuk berangkat ke sekolah, sebelumnya aku juga ditanya untuk menu sarapan apa yang aku inginkan di pagi hari, ketika selesai mandi baju sekolah sudah disetrika dengan rapi, sarapan pun sudah disediakan di meja makan. Tidak lupa pula uang jajan yang diberikan untukku. Sepulang dari sekolah makanan sudah tersedia, pakaian yang kotor kurendam di ember yang sudah tersedia tanpa harus repot-repot menyuci pakaian tersebut.

Dunia perantauan memanglah sangat berbeda dengan dunia sebelumnya, ketika di pagi hari terkadang jika kita telat bangun akan dibangunkan oleh orang tua, sekarang harus membiasakan diri untuk bangun sendiri, ketika ingin sarapan kita harus menyiapkan sendiri, masak nasi di malam hari terlebih dahulu ataupun membeli sarapan di luar sendiri. Ketika ingin berangkat sudah memastikan pakaian yang akan dikenakan sudah disetrika dengan rapi jika belum maka pagi itu juga harus menyetrika pakaian yang akan dikenakan. Di pagi hari itu pula terkadang kita harus menyuci pakaian kita yang kotor. Ketika pulang dari kampus makanan tidak tersedia di meja makan sehingga kita sendiri lah yang harus menyiapkannya. Dunia perantauan memang benar-benar berbeda, kita dituntut untuk bisa mandiri.

Teringat di awal masa perantauan, kala itu aku benar-benar tidak bisa memasak nasi, menyuci pakaian, dan menyetrikanya. Mungkin akan menimbulkan sedikit tawaan kecil jika mengingat hal itu. Dengan uang yang pas-pasan yang kuperoleh dari perusahaan yang memberikan beasiswa untukku, aku diuji untuk bisa memanage sebaik mungkin agar uang tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Aku berusaha untuk masak sendiri untuk menghemat biaya apalagi disini biaya makan sangat lah mahal. Hingga aku membeli rice cooker untuk memasak nasi bahkan aku menanam sayur-sayuran di depan rumah kosanku untuk lauknya. Awal-awal aku pun harus bertanya ke teman kosan untuk mengetahui cara memasak nasi yang benar. Hehehe rasa malu dibuang dulu deh, karena jujur aku belum pernah memasak nasi sebelumnya. Menanam sayuran tanpa pengalaman khusus hingga tanaman itu tumbuh dan aku pun memasaknya pun tanpa pengalaman tertentu hingga aku bertanya kepada mama bagaimana cara memasaknya hehehe maklum baru awal.

Untuk menyuci pakaian pun aku berusaha mengintip temanku yang sedang menyuci bagaimana cara dan tahapannya untuk menyuci pakaian. Karena waktu itu aku benar-benar bingung ada sabun yang bentuk serbuk dan ada yang bentuk cream, apa bedanya? Itulah yang ada di benakku. Hehehe ya karena aku malu untuk bertanya terpaksa deh mengintip saja untuk mengetahui caranya. Aku juga teringat ketika dulunya aku begitu mudah membuat pakaianku kotor dan mengganti begitu saja tanpa merasakan sulitnya menyuci pakaian itu. Alhamdulillah sekarang aku pun merasakan bagaimana rasa melihat pakaian kotor yang sangat banyak. Mama selalu mengingatkanku agar tidak bermain kotor ketika aku menggunakan pakaian putih, tapi tetap saja kulakukan. Sekarang pun aku merasakan sulitnya, maafkan aku ma.

Setelah pakaian telah dicuci aku sempat bingung bagaimana cara menyetrikanya, sempat aku mencoba sendiri untuk menyetrika pakaianku tapi gagal mulu, setiap aku menyetrika selalu saja ada bagian yang kusut. Terpaksa deh sekali lagi aku membuang rasa maluku untuk meminta temanku untuk mengajarkanku bagaiman cara menyetrika yang baik hehehe.Aku juga tidak ingin laundry pakaianku, alasannya agar aku bisa lebih menghargai uang, belajar untuk bersih, dan lebih mandiri.

Alhamdulillah sudah satu tahun lebih aku hidup di perantauan ini, merasakan lebaran tanpa orang tua, bangun sendiri, masak sendiri, mencuci pakaian sendiri, menyetrika, dan segala sesuatunya sudah kulakukan sendiri. Aku selalu diajarkan bagaimana untuk selalu hidup bersih dan rapi. Walaupun dulunya sering dimarahin gara-gara aku jarang membersihkan motor, sepatu, dan kamarku sendiri, hingga aku diomeli terlebih dahulu baru aku membersihkannya dan sekarang aku tahu manfaatnya. Sungguh benar-benar perjalanan spiritual yang membuatku menghargai uang, membuatku lebih dewasa, mengerti orang lain, mandiri, dan lain-lain. Perantauan memang hidup yang sulit tapi akan indah pada waktunya. Ada misi berikutnya yang harus kuhadapi dan kita hadapi setelah melalui masa ini. Setelah berhasil memenuhi kebutuhan diri sendiri selama kuliah ini, aku ingin memenuhi kebutuhan orang tuaku sehingga mereka tidak perlu bekerja lagi. Mudah-mudahan impian itu akan tercapai aamiin. Dunia kerja sudah menanti. Bismillah. Allah Selalu Bersama Kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar