Sejak di SMA aku sudah punya mimpi untuk
hidup merantau dan jauh dari kota kelahiranku, Medan. Ingin sekali memijakkan
kaki ini di pulau Jawa untuk mencari jati diriku yang sebenarnya, merasakan
manis pahitnya kehidupan, dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dari
sebelumnya. Kemandirian, kekuatan, dan pengalaman luar biasa kuyakini akan
kudapatkan jika aku bisa merantau nantinya, itulah pemikiran ketika masih duduk
di bangku SMA.
Alhamdulillah setelah tamat dari SMA aku
diberi kesempatan untuk bisa bersekolah di salah satu kota di pulau Jawa,
Bogor. Disinilah akan kumulai perjalanan baruku, merintih karir, mencapai
kesuksesan agar mereka yang telah mati-matian menghidupkanku hingga sekarang
bisa bangga dengan seseorang yang bisa bermanfaat untuk orang banyak. Itulah
alasanku untuk bisa berdiri di kota ini.
Aku termotivasi dari cerita-cerita orang
yang terlebuh dahulu telah meraih kesuksesan dan itu dimulai dari masa
perkuliahan mereka bahkan mereka dari keluarga yang kurang mampu. Bersekolah
tanpa meminta bantuan orang tua, menghidupi diri sendiri dengan uang yang
diraih dengan jerih payah dan dari tangan mereka sendiri. Tidak melupakan
kewajiban utama mereka untuk berkuliah, mendapatkan cumlaude, menjadi mahasiswa berprestasi, mereka berhasil menghidupi
diri sendiri dari beasiswa yang diperoleh, mengambil pekerjaan sampingan untuk
sesuap nasi di keseharian mereka, dan bahkan menjadi seorang aktifis yang
berpengaruh di kampus dan bermanfaat untuk orang banyak. Subhanallah, kenapa
kita tidak bisa? Atau kita tidak mau mencobanya?
Sudah berjuta-juta, puluhan bahkan
ratusan ataupun miliyar telah dihabiskan hingga aku bisa seperti ini. Tinggiku
sudah melampaui kedua orang tuaku, fikiranku sudah mulai dewasa, dan itu sudah
cukup bagiku untuk tidak merepotkan mereka lagi karenaku. Seharusnya akulah
yang menghidupi mereka sekarang. Walau memang kenyataannya aku belum
berpenghasilan cukup untuk bisa membiayai mereka setidaknya aku ingin bisa
melepaskan diri dari tanggungan mereka terlebih dahulu. Maafkan aku telah
merepotkan kalian selama ini. Aku sempat berfikir jika aku kuliah nanti mungkin
aku bisa mengamen di malam hari dengan modal gitar dan harmonicaku untuk bisa
mengenyangkan perutku nantinya daripada mesti minta ke orang tua lagi.
Aku masih ingat ketika aku harus memilih
antara pilihan-pilihan yang kuhadapi ketika tamat dari SMA, beasiswa kuliah di
IPB dengan tamatan D3 atau kuliah di Unibraw tanpa beasiswa dengan tamatan S1.
Sangat banyak resiko dan peluang yang akan kubuang jika aku harus memilih.
Namun, bagaimana pun setiap pilihan apapun itu pasti ada positive dan
negativenya. Meski yang kupilih adalah IPB walaupun jujur aku masih takut kala
itu karena membayangkan kehidupan kebun kelapa sawit yang belum pernah
kubayangkan sebelumnya, tapi selalu saja bisikan hati ini menyemangatiku akan
pilihan yang kuambil, aku tidak ingin merepotkan mereka dengan permasalahan
biaya untukku belajar lagi. Sudah cukup aku merepotkan mereka dengan membiayai
sekolahku dari TK selama 2 tahun, SD selama 6 tahun, SMP selama 3 tahun, dan
SMA selama 3 tahun.
Kehidupan di perantauan pastilah beda
dengan kehidupan sebelumnya. Yang dulunya kita selalu dekat dengan orang tua, mungkin
hanya dua kali setahun, sekali setahun, ataupun sekali dalam dua tahun jika
dalam dunia perantauan. Aku masih teringat ketika terbangun di pagi hari
terkadang dibangunkan agar segera bergegas untuk berangkat ke sekolah,
sebelumnya aku juga ditanya untuk menu sarapan apa yang aku inginkan di pagi
hari, ketika selesai mandi baju sekolah sudah disetrika dengan rapi, sarapan
pun sudah disediakan di meja makan. Tidak lupa pula uang jajan yang diberikan
untukku. Sepulang dari sekolah makanan sudah tersedia, pakaian yang kotor
kurendam di ember yang sudah tersedia tanpa harus repot-repot menyuci pakaian
tersebut.
Dunia perantauan memanglah sangat
berbeda dengan dunia sebelumnya, ketika di pagi hari terkadang jika kita telat
bangun akan dibangunkan oleh orang tua, sekarang harus membiasakan diri untuk
bangun sendiri, ketika ingin sarapan kita harus menyiapkan sendiri, masak nasi
di malam hari terlebih dahulu ataupun membeli sarapan di luar sendiri. Ketika
ingin berangkat sudah memastikan pakaian yang akan dikenakan sudah disetrika
dengan rapi jika belum maka pagi itu juga harus menyetrika pakaian yang akan
dikenakan. Di pagi hari itu pula terkadang kita harus menyuci pakaian kita yang
kotor. Ketika pulang dari kampus makanan tidak tersedia di meja makan sehingga
kita sendiri lah yang harus menyiapkannya. Dunia perantauan memang benar-benar
berbeda, kita dituntut untuk bisa mandiri.
Teringat di awal masa perantauan, kala
itu aku benar-benar tidak bisa memasak nasi, menyuci pakaian, dan
menyetrikanya. Mungkin akan menimbulkan sedikit tawaan kecil jika mengingat hal
itu. Dengan uang yang pas-pasan yang kuperoleh dari perusahaan yang memberikan
beasiswa untukku, aku diuji untuk bisa memanage
sebaik mungkin agar uang tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Aku
berusaha untuk masak sendiri untuk menghemat biaya apalagi disini biaya makan
sangat lah mahal. Hingga aku membeli rice
cooker untuk memasak nasi bahkan aku menanam sayur-sayuran di depan rumah
kosanku untuk lauknya. Awal-awal aku pun harus bertanya ke teman kosan untuk
mengetahui cara memasak nasi yang benar. Hehehe rasa malu dibuang dulu deh,
karena jujur aku belum pernah memasak nasi sebelumnya. Menanam sayuran tanpa
pengalaman khusus hingga tanaman itu tumbuh dan aku pun memasaknya pun tanpa
pengalaman tertentu hingga aku bertanya kepada mama bagaimana cara memasaknya
hehehe maklum baru awal.
Untuk menyuci pakaian pun aku berusaha
mengintip temanku yang sedang menyuci bagaimana cara dan tahapannya untuk
menyuci pakaian. Karena waktu itu aku benar-benar bingung ada sabun yang bentuk
serbuk dan ada yang bentuk cream, apa
bedanya? Itulah yang ada di benakku. Hehehe ya karena aku malu untuk bertanya
terpaksa deh mengintip saja untuk mengetahui caranya. Aku juga teringat ketika dulunya
aku begitu mudah membuat pakaianku kotor dan mengganti begitu saja tanpa
merasakan sulitnya menyuci pakaian itu. Alhamdulillah sekarang aku pun
merasakan bagaimana rasa melihat pakaian kotor yang sangat banyak. Mama selalu
mengingatkanku agar tidak bermain kotor ketika aku menggunakan pakaian putih,
tapi tetap saja kulakukan. Sekarang pun aku merasakan sulitnya, maafkan aku ma.
Setelah pakaian telah dicuci aku sempat
bingung bagaimana cara menyetrikanya, sempat aku mencoba sendiri untuk
menyetrika pakaianku tapi gagal mulu, setiap aku menyetrika selalu saja ada
bagian yang kusut. Terpaksa deh sekali lagi aku membuang rasa maluku untuk
meminta temanku untuk mengajarkanku bagaiman cara menyetrika yang baik hehehe.Aku
juga tidak ingin laundry pakaianku,
alasannya agar aku bisa lebih menghargai uang, belajar untuk bersih, dan lebih
mandiri.
Alhamdulillah sudah satu tahun lebih aku
hidup di perantauan ini, merasakan lebaran tanpa orang tua, bangun sendiri,
masak sendiri, mencuci pakaian sendiri, menyetrika, dan segala sesuatunya sudah
kulakukan sendiri. Aku selalu diajarkan bagaimana untuk selalu hidup bersih dan
rapi. Walaupun dulunya sering dimarahin gara-gara aku jarang membersihkan
motor, sepatu, dan kamarku sendiri, hingga aku diomeli terlebih dahulu baru aku
membersihkannya dan sekarang aku tahu manfaatnya. Sungguh benar-benar
perjalanan spiritual yang membuatku menghargai uang, membuatku lebih dewasa,
mengerti orang lain, mandiri, dan lain-lain. Perantauan memang hidup yang sulit
tapi akan indah pada waktunya. Ada misi berikutnya yang harus kuhadapi dan kita
hadapi setelah melalui masa ini. Setelah berhasil memenuhi kebutuhan diri
sendiri selama kuliah ini, aku ingin memenuhi kebutuhan orang tuaku sehingga
mereka tidak perlu bekerja lagi. Mudah-mudahan impian itu akan tercapai aamiin.
Dunia kerja sudah menanti. Bismillah. Allah Selalu Bersama Kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar