Sabtu, 26 April 2014

My Name is Julius Tan


Julius adalah sebuah nama yang diberikan kepadaku kurang lebih 20 tahun yang lalu tepatnya tanggal 12 Juli 1994 (promosi ulang tahun) hehehe. Aku sempat bertanya tentang arti dari namaku sendiri, kenapa aku memiliki nama yang begitu simpel dan singkat hehehe. Lalu orang tuaku memberitahu bahwa nama itu diberikan karena aku dilahirkan di bulan Juli, emmm begitu simpel jawaban kedua orang tuaku sih, ya sesuai dengan simpelnya namaku hehehe.

    Ketika aku ditanya oleh setiap orang tentang siapa namaku lalu aku menjawabnya bahwa namaku adalah “Julius”. Itu sajakah? Nama panjangnya siapa?

“Julius doang” atau kadang aku biasa menjawabnya dengan “Julus aja, Julius tok!”.

Sebenarnya terdapat sedikit pertanyaan kenapa namaku begitu simpel, padahal setiap orang tua selalu memberikan nama terbaik untuk anaknya, yang biasanya dibalik nama tersebut adalah doa ataupun harapan dari orang tuanya. Setiap nama seorang anak pasti ada yang unik, panjang, bermakna, dan lain-lain tapi berbeda denganku. Itulah yang membuatku terkadang merasa iri.     

Julius, emm mungkin namaku identik dengan seorang bangsa Romawi atau yang lebih dikenal dengan nama Julius Caesar, atau adapula yang menyamakan namaku dengan seniman Indonesia yaitu Julius Sitanggang, Ya itulah mungkin yang ada dibenak setiap orang jika mendengar nama Julius. Atau mungkin orang tuaku berharap aku bisa menjadi seseorang yang berpengaruh seperti Julius Caesar dan Julius Sitanggang kali ya hehehe.

Ada hal yang unik dibalik namaku ini, mungkin jika seseorang yang bernama Julius di dunia ini adalah seorang non Muslim, tapi berbeda denganku, aku adalah seseorang yang bernama Julius dan aku adalah seorang Muslim. Aku terlahir dari seorang pria luar biasa yang bernama Kasan Tan, beliau adalah orang keturunan Tionghoa dan seorang wanita perkasa yang bernama Nurcahaya Gultom yang merupakan keturunan Batak. Fisikku sendiri mungkin lebih pas jika dikatakan keturunan Tionghoa, mungkin karena mata sipitku ini hehehe.

Seorang ayah yang merupakan keturunan Tionghoa yang lebih identik dengan agama Buddha, dan seorang ibu yang merupakan keturunan Batak yang mungkin lebih identik dengan kaum Nasrani, tapi aku adalah seorang Muslim emm mungkin banyak orang yang bertanya-tanya tentang diriku, apalagi jika seseorang yang baru mengenalku dan melihatku berada di mesjid mungkin dalam benakknya ini di mesjid ada anak mualaf ya, lalu ia datang berkenalan denganku dan menanyakan namaku.

“Namaku Julius”.

Mungkin setelah itu dia langsung spot jantung dengar namaku. Mungkin dalam benaknya, “Anak ini muka cina, nama romawi gitu kayak orang non Muslim, tapi ke mesjid -____-” ”.

   Setelah lama kenal dia baru bilang, “Eh maaf ya dulu itu aku kira kamu non Muslim loh dari nama dan wajahnya keliatannya begitu, eh kok masuk mesjid, ternyata kamu Muslim”.

“Kamu sih mungkin udah orang ke-1000 yang bilang gitu”, ya begitulah jawabanku setiap kali ada yang ngomong begitu walaupun aku tak tau dia orang ke berapa, mungkin sudah seribu lebih ya sekarang, tapi tetep aja kubilang kamu orang ke-1000 hehehe.

   Sebenarnya nama lengkapku adalah Julius Tan. Tan sendiri adalah sebuah marga yang diturunkan dari ayahku. Katanya sih setiap orang Tionghoa itu pasti punya nama Tionghoanya. Emm dan Alhamdulillah di balik simpelnya namaku aku punya nama yang keren, ya bagiku sih keren hehehe. “Chen Guo You”, iya itu lah nama lainku. Chen adalah sebuah marga, kalau bahasa Indonesianya “Tan” dan kalau Mandarinnya adalah ”Chen”. Guo itu memiliki arti negara sedangkan You adalah sahabat. Jadi makna dari nama Chen Guo You itu adalah sebuah negara yang bersahabat. Kalau nama ini sendiri adalah nama diberikan oleh ayahku dikarenakan beliau masih memegang budaya Tinghoa yang ia percayai, mungkin dia ingin anaknya bisa berkembang seperti sebuah negara yang bisa menaungi jutaan rakyatnya dan juga menjadi seseorang yang bersahabat dengan setiap orang, kayaknya sih hehe. Ya walaupun pelafalannya agak sulit ya “Chen Guo You”, tapi aku sangat suka akan nama itu.

   Aku punya sebuah sejarah hidup yang buruk dengan namaku ini. Aku sempat ingin menghilangkan marga “Tan” yang ada pada diriku dengan tidak mau menempelkannya di absen, rapot, dan bet nama baju SD ku kala itu. Aku ingat kala itu aku tidak mau di baju sekolahku ada nama “Tan” aku hanya ingin nama yang ada di bajuku hanya “Julius”. Kenapa? Kenapa begitu?

   Aku sempat malu dengan keadaan namaku, terutama margaku itu. Aku merasa berbeda sendiri dengan teman-temanku yang lain. Aku malu ketika aku seorang Muslim tapi aku memiliki marga “Tan”.  Aku malu ketika aku seorang Muslim tapi mataku cipit dan aku memiliki kulit yang putih. Aku sempat berkata kepada ibuku waktu itu.

“Ma, Juli ingin punya kulit hitam aja, Juli mau main di terik matahari aja biar hitam biar tidak keliatan kalau Juli adalah orang Cina”, kataku.

Aku juga sempat berkaca di depan cermin dan mencoba membuka mataku lebar-lebar agar aku tidak memiliki mata sipit lagi ya maklum lah namanya juga anak kecil hehehe. Aku sempat sedih ketika aku mengingat pemikiranku waktu itu. Aku begitu malu dengan keadaan keturunanku yang mungkin berbeda dengan yang lain. Mungkin memang iya dulu aku sempat merasakan tekanan sosial dengan nama, fisik, dan kepercayaanku yang saling bertolak belakang. Ya tapi memang begitulah perasaanku waktu itu.

Sekarang aku tidak peduli dengan namaku yang simpel, margaku yang sempat ingin kuhilangkan saja karena aku tidak mau orang beranggapan kalau aku adalah seorang Buddhis, fisikku yang tidak cocok dengan orang Muslim lainnya, bagiku yang terpenting adalah menunjukkan pada semua orang kalau orang yang memiliki marga “Tan’ juga ada yang seorang Muslim dan bukan Mualaf. Aku bukan seperti Ustadz Felix Siauw yang memeluk agama Islam di masa dewasanya, aku sudah menjadi seorang Muslim sejak aku lahir, aku sudah biasa dengan anggapan setiap orang di awal perkenalanku dengannya, pasti ia memiliki pemikiran yang sama dengan yang lain. Aku seharusnya bangga dengan namaku yang mungkin lebih mudah orang mengingatnya. Aku juga tidak ingin menyembunyikan lagi marga yang kumiliki sekarang. Marga yang diturunkan dari ayahku, aku hanya ingin orang tau kalau aku yang sukses nantinya adalah seorang yang terlahir dari seorang yang keturunan Tinghoa dan memiliki marga “Tan”, aku sudah seharusnya bangga dengan marga yang kumiliki. Saat ini aku sudah ada beberapa orang yang memanggilku dengan Bapak Tan, walaupun sebenarnya masih agak asing di telingaku, tapi aku cukup senang akan panggilan itu. Ya setidaknya setiap orang akan tau kalau aku punya marga itu dan aku bangga dengan marga itu.




Orang Tua dan Anaknya


Setelah sebelumnya mendapatkan kisah inspiratif mengenai seorang pembrondol yang menyekolahkan anaknnya hingga kuliah, kali ini aku mendapatkan kisah luar biasa lagi dari seorang mandor perawatan yang juga telah susah payah menyekolahkan anaknya.

Kebetulan anaknya adalah adik kelasku juga di IPB. Walaupun tak seromantis kisah yang sebelumnya, tapi ada point penting dari kisah ini yang mungkin bisa membuka pikiran kita untuk bisa menjadi lebih baik.

Karena bisa lulus di program beasiswa yang sama, kuliah ini tidaklah menjadi beban besar bagi orang tua. Kalau boleh jujur sebenarnya uang saku yang diberikan masih kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ditambah lagi dengan lumayan besar biaya hidup di Bogor jika dibandingkan dengan Medan sih. *kurang bersyukur sepertinya hehehe. Tapi begitulah kenyataannya, masih banyak mahasiswa yang minta bantuan ke orang tua untuk bisa memberikan tambahan uang saku.

Beliau sempat bertanya mengenai kelakuan anaknya di kampus apakah baik atau tidak. Aku yang kebingungan hanya bisa menjawab pastinya dia lebih dewasa pak dan sudah tau mana yang baik dan mana yang buruk, soalnya jika aku bilang tidak baik nantinya bisa berabe urusannya dan kalau kubilang baik nanti dikira muji-muji anaknya hehehe. Berhubung aku tidak tau pasti maka kusampaikan saja seperti itu hehehe.

“Kalau dia mudah-mudahan lebih dewasa pak dibandingkan dengan adik-adiknya yang lain”.

“Baguslah pak kalau begitu, jadinya kan bapak tidak usah terlalu mikiri keadaannya di Bogor”.

“Iya pak mudah-mudahan bisa membantu adik-adiknya lah nanti jika sudah sukses. Soalnya pak, pernah saya bertanya kepada dia apakah dia punya uang atau tidak, dia bilangnya uangnya masih ada, eh rupanya setelah itu dia langsung menghubungi adeknya untuk minjam uang karena dia segan untuk ngerepotin saya pak, tapi adiknya menyampaikan kepada saya walaupun tanpa sepengetahuan dia pak, makanya sekarang saya selalu ngirimin dia uang walaupun dia bilang kalau uangnya masih ada, karena gitu kenyataannya pak kadang dia lebih memilih kelaparan daripada ngerepotin orang tuanya, iya kita sebagai orang tua tidak tega lah melihat dia seperti itu”, cerita bapak itu dengan logat bataknya hehehe.

Maklum disini kebanyakan orang-orang batak yang bahasanya masih sangat kental.

Begitu singkat cerita Bapak itu tapi begitu banyak makna yang tersirat dalam perbincangan kami. Pertama, sebagai orang tua bagaimana pun keadaannya dia tetap lebih mengutamakan keadaan anaknya walaupun si anak tidak mau merepotkan mereka. Terkadang banyak orang tua yang cerewet kepada anaknya tapi walaupun begitu cerewetnya mereka tidak sebanding dengan besarnya kasih sayang mereka. Aku mengetahui keadaan keuangan orang tuanya mungkin bisa dikatakan pas-pasan, tapi dia tidak peduli dengan keadaan keuangan yang pas-pasan itu asal bukan anaknya yang sampai tidak makan disana gara-gara ingin menghemat uang yang ia punya. Mungkin saja jatah makan orang tuanya yang tiga kali sehari diporsir olehnya menjadi dua kali dan jatah makan satunya disisihkannya untuk uang pesawat anaknya ketika ingin pulang ke kampung halaman. Bagitulah besarnya pengorbanan orang tua untuk harapannya di masa depan yaitu kesuksesan anaknya.

Kedua, sebagai seorang anak sudah seharusnya kita mengerti keadaan orang tua. Aku  salut dengan anak tersebut yang bisa kukatakan sudah cukup dewasa. Memang sudah saatnya kita mandiri dan tidak merepotkan orang tua lagi. Tindakan dia benar-benar  kuacungkan jempol hehehe. Mau sampai kapan kita merepotkan kedua orang tua kita, setidaknya secara perlahan kita harus bisa mengurangi intensitas uang yang diberikan beliau untuk kita. Apalagi jika kita lebih sering menghabiskan uang yang mereka peroleh dengan keringat hanya untuk kepuasan sementara tanpa ada hasilnya. Memang pasti sulit, tapi mari perlahan dan secara bertahap untuk tidak merepotkan mereka lagi. Aku sudah merasakan capeknya kerja dibawah terik matahari, pergi pagi-pagi lalu pulang sorenya hanya untuk anak tercinta tapi apa balasan dari kita? Jujur jika aku terus-terusan seperti itu mungkin hanya bisa mengeluh apalagi gaji tidak sebanding dengan keringat yang keluar. Mereka hanya ingin kita sukses, maka daripada itu ayok berkomitmen untuk bisa sukses dan mulai belajar lebih dewasa.

Untuk saat ini mungkin beliau yang selalu mengirim kita uang saku, tapi tahun depan kita sudah harus bisa mengurangi intensitas uang yang mereka kirim, lalu tahun berikutnya kita sudah tidak bergantung dengan uang kiriman mereka bahkan mungkin sudah bisa mengatakan untuk tidak usah mengirimkan uang saku lagi, dan tahun berikutnya lagi sudah kita lah yang mengirim mereka uang bukan mereka yang memberikan kita uang. Subhanallah Allahu Akbar!!


Tetap semangat teman-teman, semoga kita bisa membuat mereka tersenyum dengan apa yang telah kita lakukan.


Demi Buah Hati Apapun Kulakukan


Perantauanku saat ini setelah kota Bogor adalah Riau. Disinilah aku berdiri sekarang untuk 5 bulan ke depan. Kebun Rama-rama insyaAllah akan menjadi sebuah tempat yang takkan kulupa karena akan banyak memberikanku pelajaran baik di dunia sawit, sosial, ataupun yang lainnya.

Kusingkirkan tingkah keanak-anakanku ditempat ini. Aku bukanlah dipanggil lagi adek, mas, bang atau apapun, saat ini semua orang memanggil diriku dengan sebutan Pak.

“Aku masih muda bu, pak, masak sudah dipanggil Bapak hehehe”, gumamku dalam hati.

Tapi beginilah kenyataannya hehehe aku sudah menjadi bapak-bapak disini hehehe.

Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan kali ini. Disini aku belajar bagaimana menjadi orang tua yang berjuang demi anaknya dan belajar bagaimana menjadi seorang anak agar tidak mengecawakan orang tua yang telah berjuang demiku.
Sesuap nasi yang dimakan orang-orang disini semua bergantung dari perusahaan yang memperkerjakan mereka. Bangun pagi-pagi, ikut lingkaran pagi, berangkat ke kebun, kerja mati-matian demi memperjuangkan si “Rupiah”. Begitulah rutinitas setiap harinya yang mereka lakukan.
Di kebun ini aku berjumpa dengan ayah sahabatku di kampus yang kebetulan satu jurusan denganku. Beliau bekerja sebagai karyawan disini tepatnya seorang pengutip brondolan kelapa sawit. Kulihat dia berjalan tanpa alas kaki mengelilingi kebun yang beratus-ratus hektar sambil mengutip brondolan sawit yang jatuh dan tercecer, berpakaian baju kampanye yang diberikan oleh salah satu partai politik serta celana yang juga seadanya. Kujabat tangannya sambil tersenyum seraya berkenalan dengannya dan menyampaikan kalau aku adalah teman anaknya di kampus. Beliaupun membalas senyumku dengan senyum terbaiknya walau harus menampakkan gigi-giginya yang perlahan mulai hilang.

“Bapak itu dulunya adalah seorang pemanen namun sekarang karena sudah tua, beliau tidak mampu lagi memanen ditambah dengan semakin tingginya tanaman, oleh karena itu saat ini beliau hanya mampu mengutip brondolan”, celetus dari salah satu mandor yang menemaniku saat itu.

“Sekarang anak bapak itu seangkatan dengan bapak kan di IPB?”, tanyanya.

“Iya pak kebetulan kami seangkatan dan saya lumayan kenal dengannya”, jawabku.

Mandor itu bercerita panjang mengenai cerita hidup seorang bapak tua yang mati-matian menyekolahkan anaknya hingga berkuliah saat ini walau hanya sebagai seorang pemanen dan pembrondol.

“Ketika anaknya telah lulus di program wisuda yang diberikan Sinarmas ini, bapak itu merasa bahagia bercampur sedih. Senang karena dia berharap anaknya bisa sukses dan bisa menyekolahkan adik-adiknya, ada pula perasaan sedih karena di lain sisi dia tidak memiliki uang untuk memberangkatkan anaknya ke Bogor. Sebelum berangkat bapak itu sempat keliling kampung ini untuk minjam uang ke tetangga-tetangga untuk bisa memberangkat anaknya tapi tidak satu pun orang mau memberikan pinjaman dengan alasan masih sama-sama butuh uang tersebut. Pintu ke pintu tapi tak juga ada yang mau membantu. Saya sebenarnya begitu sedih tapi saya juga tak punya uang untuk membantunya. Akhirnya Bapak tersebut meminta tolong kepada saya untuk membantunya meminjamkan uang di bank karena sulitnya mencari pinjaman di kampung ini, tapi ketika saya tanyakan apakah bapak tersebut punya akte, surat nikah atau yang lainnya, beliau juga tidak punya. Saya sempat bingung bagaimana menolongnya. Benar-benar tidak tega melihat bapak tersebut. Akhirnya saya berusaha mencari bantuan untuk menggadaikan surat tanah orang untuk bisa minjam uang di bank, dan untungnya ada yang prihatin dan ikhlas membantu dan dengan syarat, biaya per bulan yang dikenakan oleh bank menjadi tanggungan bapak tersebut, dan bapak itu mengiyakannya” cerita bapak mandor tersebut.

Apapun kulakukan demi suksesnya anakku walau keringat bercucuran darah nantinya, mungkin begitulah yang ada pada benak bapak tersebut. Dan mudah-mudahan anaknya bisa membalas kerja keras orang tua saat ini di masa depan.

Beberapa hari setelahnya aku mengetahui bahwa setiap bulannya beliau hanya mendapatkan tidak lebih dari 2 juta, menghidupi keluarga dengan uang secukupnya mungkin juga kurang sebenarnya, fasilitas dari perusahaan pun kurasa kurang baginya. Aku teringat ketika anaknya sering telat membayar uang kosan, jarang ikut patungan jika ada sesuatu, ataupun ikut jalan-jalan. Perasaanku benar-benar terharu saat itu. Hatiku bertanya kenapa aku tidak peka terhadap kehidupan teman-temanku sendiri. Namun, yang bisa kulakukan adalah berdoa semoga usaha yang dilakukan bapaknya takkan bisa dan semoga anakknya bisa membalas kerja keras yang dilakukan orang tuanya.



       Dengan sepenggal kisah ini, bukan hanya dia, mungkin aku dan kita semua harus bisa membahagiakan semua orang yang telah berjuang demi kita terutama orang tua kita. Tetap syukuri hidupmu saat ini, jangan cepat puas dengan segalanya, tetap berusaha demi kehidupan yang lebih baik untukmu dan untuk semuanya karena pahitnya hidup yang kita alami mungkin lebih pahit lagi kisah hidup orang di luar sana atau bahkan sahabat kita sendiri. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Aamiin..