Sabtu, 24 Februari 2018

Futur Pasca Menikah

             
Fulanah merasa penat dan gelisah. Setahun menalani kehidupan rumah tangga tenyata terasa berat baginya. Pekerjaan rumah yang menumpuk dari mulai menyapu, mengepel, mencuci piring dan pakaian, menyeterika baju, memasak dan yang lainnya, harus ia kerjakan setiap hari tanpa libur atau cuti. Apalagi sebulan setelah akad dan walimah, dirinya positif berbadan dua. Hari-hari masa kehamilan diwarnai dengan mual muntah, nyeri punggung, kram kaki dan ‘kebiasaan-kebiasaan’ yang menggejala bagi ibu hamil pun ia lalui.   Pasca melahirkan, kesibukannya pun bertambah dengan kehadiran si bayi mungil. Dengan masih melekatnya pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sebelumnya, praktis 24 jam waktu yang ia miliki seolah masih sangat kurang. Semakin seabreg rasanya aktivitas harian. Sebenarnya, suami kadang membantu sebagian pekerjan itu meski tak banyak. Suaminya memang tak banyak ia harapkan karena harus membanting tulang mencari nafkah dan sibuk dengan aktivitas dakwah, bahkan tak jarang harus pergi ke luar kota.  

                Rutinitas monoton yang ia jalani saban hari membuat fisiknya layu dan jiwanya kering. Karena jangankan untuk hadir di taklim-taklim penyubur iman dan ilmu, mushaf Qur’an miliknya pun sudah lama tak tersentuh.

                Kondisi demikian memang kerap kita temui. Karena kesibukan setelah menikah apalagi ditambah punya momongan, seorang akhwat yang dulunya rajin ngaji, semangat taklim, dan rakus dengan ibadah sunnah, berguguran justru di ‘medan’ mereka yang sesungguhnya. Pernikahan yang harusnya menjadi penggenap setengah dinnya, justru menjadi kuburan bagi amal yauminya. Dengan alasan sibuk berkutat dalam pekerjaan domestik, ibadah tak lebih sekedar sholat lima waktu dengan sisa waktu dan tenaga.
Hadirkan Hati
                Pada dasarnya, seluruh pekerjaan rumah tangga yang melelahkan adalah bagian dari ibadah itu sendiri. Namun, seringkali hal ini kurang disadari dan dimaknai secara mendalam. Dengan demikian, kita harus berusaha agar selalu menyadari bahwa aktivitas harian kita yang padat dengan pekerjaan rumah tangga adalah ibadah, dan niatkanlah untuk ibadah. Kesadaran itu penting, karena itulah yang membedakan satu  pekerjaan dari hanya sekedar rutin menjadi ibadah. Kata Ibnu Qayyim, ”Orang yang selalu sadar (untuk beribadah) maka pekerjaan rutinnya ibadah, sedangkan orang yang lupa dan lalai maka ibadahnya pun baginya merupakan hal rutin dan kebiasaan saja”.

                Lakukanlah tugas-tugas kerumahtanggaan dengan penuh kerelaan, kelapangan hati dan penuh kesadaran bahwa hal itu merupakan ibadah kepada Allah. Hadirkan selalu hati kita dalam melakukan pekerjaan tersebut. Tanpa kehadiran hati, fisik yang bekerja tak ubahnya robot yang mekanis.
                Kita nikmati saja rutinitas harian kita, karena peran yang kita jalani adalah sebuah anugerah dari Allah yang tidak diberikan pada semua orang. Menjalani peran-peran dengan penuh rasa syukur akan membantu kita menemukan kebahagiaan. Menikmati waktu-waktu kita di rumah tanpa terjebak pada kebisingan dan hiruk pikuk dunia luar, menikmati waktu kita memasak dengan variasi menu dan menata rumah secara artistik, menikmati becengkerama dengan anak-anak dan bermain bersama mereka, semuanya akan menambah keindahan hidup kita.

                Apa-apa yang kita alami dalam letihnya ‘bekerja di rumah’, pada dasarnya juga dialami oleh seluruh ibu rumah tangga lainnya. Mereka mungkin justru lebih payah karena jumlah anaknya lebih banyak, kondisi ekonomi yang kurang baik dibanding kita, atau hal-hal lain yang menunjukkan lebih baiknya keadaan kita dibanding mereka. Jadi santai saja, tak perlu merasa bahwa kita adalah ibu rumah tangga yang ‘diperbudak’ oleh pekerjaan rumah tangga dan kita terjebak di dalamnya. Faktanya, banyak ibu rumah tangga yang menjalaninya dengan baik kok!

                Kisah Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam harusnya menjadi renungan bagi kita. Ia menggiling gandum sendiri untuk membuat kue hingga membekas tebal di kedua tangannya (kapalan). Bayangkanlah bagaimana seorang putri Nabi dan istri seorang shahabat yang mulia, harus menggiling, membuat adonan roti dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya.

                Suatu ketika ia meminta pembantu kepada sang Ayahanda untuk meringankan pekerjaannya. Sang Ayah pun memberikan yang lebih baik bagi putrinya. “Maukah aku tunjukkan yang lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu? Bila kalian berdua hendak berbaring di tempat tidur kalian, bertakbirlah 34 kali, bertahmidlah 33 kali dan bertasbihlah 33 kali. Maka yang demikian itu lebih baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.”

                Inilah wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi putrinya tercinta, Fathimah, seorang pemmpin para wanita penghuni surga. Ketika ia bermaksud meminta seorang pembantu untuk meringankan pekerjaannya kepada Ayahandanya. Bukan pembantu yang Ayahnya berikan, melainkan dzikir yang menenangkan hati dan pikiran.
Siasati dengan baik
                Di sela-sela kesibukan kita, masih banyak peluang untuk menjaring amal ibadah yang bisa menjadi energi untuk mengidupkan ruhiyah dan memberikan asupan bergizi bagi jiwa. Priortaskan yang wajib, baru yang sunnah. Maksimalkan kualitas sholat lima waktu dengan khusyu’. Ibarat mandi lima kali sehari, sholat menjadi penyegar jiwa kita sehari-harinya. Jika sholat fardhu ini bisa dilaksanakan dengan kualtas yang baik, insya Allah efeknya luar biasa pada diri kita.

                 Diantara yang bisa kita lakukan lainnya adalah dengan memanfaatkan sepertiga malam terakhir untuk qiyamul lail, tilawah, dzikir dan muhasabah. Jadikan waktu-waktu ini sebagai “me time” (waktu khusus untuk diri kita). Bisa juga dengan bersama-sama suami. Tentunya, jika suami tidak menghendaki ‘acara malam’ lain berdua.

                Jika merasa berat, kerjakan sedikit-sedikit tetapi rutin. Karena sesunguhnya amalan yang sedikit tapi kontinyu (terus menerus/rutin) itu lebih disukai Allah. Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinyu walaupun itu sedikit.” (HR. Muslim). Sempatkan pula sholat dhuha meski hanya dua rakaat. Selain berpahala, sholat dhuha akan menjadi sarana penenang hati yang efektif di tengah kesibukan. Pun jika memungkinkan, upayakan untuk menambah sholat fardhu dengan nafilah. Toh, nambah dua rakaat tak lebih dari 10 menit. Anak rewel? Okelah, tapi  tak setiap sholat anak pasti rewel kan? Sesuaikan saja dengan kondisi yang ada. Allah paling Tahu kok apakah kita benar-benar berudzur atau hanya beralasan saja.

                Sambil menyelam minum air. Hal ini juga bisa kita terapkan dengan mendengarkan murottal dan ceramah sambil beraktivitas. Asalkan, memang benar-benar didengar dan diperhatikan. Karena jika al-Qur’an dibaca, maka kita harus mendengar dan memperhatikannya dengan baik, bukan sambil lalu. Begitu juga dengan dengan dzikir, tentu bisa kita lakukan dengan menyambi melakukan sesuatu.

                Bagaimanapun, tarbiyah diri kita juga merupakan tanggung jawab suami. Bicarakan dengan suami untuk meluangkan waktu—bakda subuh misalnya—setiap sepekan sekali untuk bermajelis berdua dan memberikan taushiyah maupun taklim kepada kita. Termasuk pula, membicarakan kesempatan bagi kita untuk hadir di majelis taklim yang ada diluar.

                Sebuah hal yang lumrah dan wajar jika kita merasa lelah, jenuh, bosan, dan sebagainya. Yang penting, segera atasi perasaan tersebut dan tidak berlama-lama dibuai olehnya. Sejatinya, medan rumah tangga adalah medan tempur yang sebenarnya bagi akhawat. Disinilah tahapan yang menguji kualitas diri dan konsistensi yang dimiliki. Disinilah pertarungan yang sesungguhnya. Justru ketika menjadi istri, menjadi ibu. Petaruhan sebuah keistiqamahan. Mari kita jawab tantangan ini. Futur setelah menikah? No Way! (biidznillah..)

Repost: http://ishlah.blogspot.co.id/2013/10/futur-setelah-menikah.html





Para Penggemban Dakwah

Jumat kemarin, 23-02-2018 kami melakukan kunjungan ke salah satu perkebunan kelapa sawit di perbatasan Indonesia-Malaysia. Ya tempat tinggal kami juga tidak terlalu jauh dari daerah tersebut, berkisar kurang lebih perjalanan darat (menggunakan mobil/motor) 1 jam.

Saat itu kami akan melakukan ibadah sholat Jumat di pemukiman warga (Pondok). Ada hal yang sangat mengetuk hati saya mudah-mudahan teman-teman yang lain juga seperti itu. Ketika adzan selesai berkumandang, disaat seorang khatib harusnya naik ke atas mimbar, jamaah malah saling melihat satu sama lain, saling menunjuk untuk meminta naik ke atas mimbar. Kurang lebih 30 detik seisi mesjid saling menoleh dan melihat satu sama lain.

Astaghfirullah, bahkan saya tidak memberanikan diri untuk bisa maju untuk naik ke atas mimbar, saya coba otak atik hp saya berharap ada materi yang bisa saya bawa karena beberapa minggu sebelumnya saya sempat mengisi khutbah, namun tidak terlihat materinya, dan saya merasa tidak mampu tanpa adanya materi itu,padahal kita seharusnya sebagai pengemban dakwah selalu siap kapanpun dan dimanapun untuk bisa meneruskan dakwah ini walau kita masih tergolong muda. Astaghfirullah inilah potret Islam di daerah terpencil yang harusnya jadi pelajaran untuk saya dan kita semua. Kita bisa saja begitu aktif di dunia kampus dalam dakwah, tapi dunia pasca kampus adalah dunia dakwah sebenarnya.

Mudah-mudahan kita sebagai pengemban dakwah ini, penerus dakwah ini tidak menganggap sholat jumat hanyalah sekedar rutinitas biasa. Pergi ke masjid lalu pulang tanpa membawa apapun, atau malah karena malu dilihat oleh teman yang lain kita tidak melakukan sholat jumat.

Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah. Semoga cerita singkat ini bisa menjadi pelajaran buat kita semua. Aamiin.

Sungai Biru Estate, 23 Februari 2018.


He/She Is Not Perfect

"Husband said this to his wife: If jannah was a flower, I would pick it for you. If jannah was a bird I would catch it for you. If jannah was a house I’d build it for you. But Since jannah is a place no eye has ever seen, I make dua to Allah to reserve it for you..."

Resign dari Dakwah Pasca Menikah

Resign dari Dakwah Pasca Menikah
=============
Oleh. Annisa Afriliani Hana
(Repost dari salah satu teman)

Kenapa ya banyak pengemban dakwah yang resign dari dakwah pasca menikah? Katanya dakwah poros hidup, tapi demi kenikmatan hidup yang tak seberapa rela meninggalkan jalannya para nabi dan Rasul, dakwah.

Makanya cari partner hidup itu yang juga menjadikan dakwah sebagai poros hidup. Agar menikah menguatkan dakwah, bukan malah melemahkan. Agar menikah mampu membuat kita berkontribusi lebih banyak di jalan dakwah, bukan malah melepaskan diri dari dakwah.

Benarkah cinta kita kepada manusia sanggup mengalahkan cinta kita kepqda Allah? Padahal seharusnya seorang muslim mencintai Allah dan Rasulnya melebihi kecintaannya pada apapun juga. Dia merindu jannah, maka dia akan mengejar keridhoan Allah sampai ajal datang menjemputnya. Tak rela menukar nikmatnya beraktivitas di jalan dakwah dengan sekadar cinta kepada manusia.

Resign dari dakwah pasca menikah seharusnya tak boleh terjadi jika partner hidup kita juga adalah pengemban dakwah. Maka rumah tangga yang terbangun kental dengan ruh perjuangan. Bersama meniti ridho ilahi, bukan hanya tenggelam dalam romantisme tak berkesudahan yang membuat diri kering militansi.

Pertama lepas dari dakwah, lama-lama lepas jilbab (gamis), lama-lama menganggap boleh lepas kaos kaki, hingga lama-lama menghalalkan riba. Dan itu adalah nyata, melepaskan diri dari dakwah dapat menyeret kita menuju kemaksiatan demi kemaksiatan. Semoga Allah karuniakan kepada kita pasangan yang mencintai dakwah sehingga rumah tangga yang terbangun dipenuhi spirit perjuangan.