Sabtu, 24 Februari 2018

Para Penggemban Dakwah

Jumat kemarin, 23-02-2018 kami melakukan kunjungan ke salah satu perkebunan kelapa sawit di perbatasan Indonesia-Malaysia. Ya tempat tinggal kami juga tidak terlalu jauh dari daerah tersebut, berkisar kurang lebih perjalanan darat (menggunakan mobil/motor) 1 jam.

Saat itu kami akan melakukan ibadah sholat Jumat di pemukiman warga (Pondok). Ada hal yang sangat mengetuk hati saya mudah-mudahan teman-teman yang lain juga seperti itu. Ketika adzan selesai berkumandang, disaat seorang khatib harusnya naik ke atas mimbar, jamaah malah saling melihat satu sama lain, saling menunjuk untuk meminta naik ke atas mimbar. Kurang lebih 30 detik seisi mesjid saling menoleh dan melihat satu sama lain.

Astaghfirullah, bahkan saya tidak memberanikan diri untuk bisa maju untuk naik ke atas mimbar, saya coba otak atik hp saya berharap ada materi yang bisa saya bawa karena beberapa minggu sebelumnya saya sempat mengisi khutbah, namun tidak terlihat materinya, dan saya merasa tidak mampu tanpa adanya materi itu,padahal kita seharusnya sebagai pengemban dakwah selalu siap kapanpun dan dimanapun untuk bisa meneruskan dakwah ini walau kita masih tergolong muda. Astaghfirullah inilah potret Islam di daerah terpencil yang harusnya jadi pelajaran untuk saya dan kita semua. Kita bisa saja begitu aktif di dunia kampus dalam dakwah, tapi dunia pasca kampus adalah dunia dakwah sebenarnya.

Mudah-mudahan kita sebagai pengemban dakwah ini, penerus dakwah ini tidak menganggap sholat jumat hanyalah sekedar rutinitas biasa. Pergi ke masjid lalu pulang tanpa membawa apapun, atau malah karena malu dilihat oleh teman yang lain kita tidak melakukan sholat jumat.

Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah. Semoga cerita singkat ini bisa menjadi pelajaran buat kita semua. Aamiin.

Sungai Biru Estate, 23 Februari 2018.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar